Kamis, 14 April 2011

Hebatnya China

06.41
0

Tiongkok merupakan sebuah negara yang menakjubkan bagi dunia Barat dalam dua dekade terakhir. Dimulai dengan reformasi ekonomi yang diusung oleh pemimpin Tiongkok pasca Mao Ze Dong, Deng Xiao Ping, Tiongkok melaju dalam pembangunan ekonomi yang kuat dan dalam waktu yang relatif singkat telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai kisaran 9-11% dalam sepuluh tahun teakhir telah membuat Tiongkok masuk dalam perhitungan strategi ekonomi danperdagangan internasional. Sebuah negara dengan penduduk lebih dari satu milyar jiwa merupakan pasar strategis sekaligus juga penyedia tenaga kerja yang cukup besar untuk industri.


Kemajuan dan kekuatan ekonomi Tiongkok saat ini tidak hanya mampu membuat negara yang dahulu kita kenal dengan “negeri tirai bambu” berubah menjadi sebutan “naga bangkit” yang tidak hanya mewakili kekuatan ekonomi namun juga kekuatan politik dalam percaturan politik internasional. Kita tidak bisa memungkiri bahwa kekuatan ekonomi suatu negara dapat dijadikan sebagai salah satu modal untuk meningkatkan nilai tawar (bargaining position) sebuah negara yang kemudian dalam konsep realis Morgenthou dapat dijadikan sebagai kekuatan negara dalam perebutan kekuasaan (power).
Tiongkok yang pada tahun 1970an bukan menjadi tujuan investasi dan rujukan pembangunan seperti beberapa negara Asia yang tergabung dalam The Asian Tigers, saat ini telah mampu menunjukkan diri bahwa Tiongkok saat ini dapat menjadi potret kemajuan ekonomi yang mengarah kepada sebuah hegemoni.

Diantara negara-negara didunia yang saat ini mecoba untuk “kembali” memandang Tiongkok sebagai sebuah peluang untuk meningkatkan kekuatan negara adalah Indonesia. Indonesia memiliki sejarah yang unik dengan Tiongkok. Selama kurang lebih 20 tahun sejak Indonesia merdeka, Indonesia memiliki hubungan yang cukup erat dengan Tiongkok. Hal itu mencapai puncak ketika Indonesia dibawah presiden pertama Soekarno, membentuk poros Jakarta-Peking. Namun hubungan “mesra” tersebut terhenti sejak peristiwa G 30 S/PKI yang sampai saat ini masih simpang siur mengenai bukti-bukti sejarahnya. Sejak peristiwa tahun 1965 tersebut hubungan Indonesia-Tiongkok memburuk dan terputus hingga sampai kepada normalisasi pada tahun 1990an.
Normalisasi hubungan Indonesia-Tiongkok tentu saja didasari atas kepentingan Indonesia disatu sisi. Kepentingan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi Tiongkok waktu itu yang sedang berjalan dalam reformasi ekonomi dibawah Deng Xiao Ping yang dalam beberapa kebijakannya berbeda dengan pemimpin pendahulunya Mao.

Nampaknya pembangunan ekonomi di Tiongkok dan perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia yang dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Dingin membuat Indonesia berfikir ulang untuk memasukkan Tiongkok sebagai salah satu kekuatan dunia yang harus diperhitungkan. Saat ini, Tiongkok telah menjadi sebuah negara industri dengan kekuatan ekonomi yang mantap. Indonesia sedang mencari peluang dalam perkembangan globalisasi Tiongkok dan mencari setiap peluang yang ada untuk mendukung pembangunan di dalam negeri. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengupas secara sederhana atas tiga pertanyaan utama. Pertama, sejauhmana Tiongkok mengarah kepada hegemoni global? Kedua, sejauhmana Indonesia dapat mencari peluang bagi kepentingan Indonesia dalam hegemoni Tiongkok tersebut dan ketiga, hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia untuk mendapatkan peluang tersebut.

Hegemoni Global Tiongkok
Perkembangan dunia sekarang ini telah mengarah kepada kapitalisme global dimana arus perdagangan, informasi dan teknologi informasi semakin berkembang pesat, meluas dan merambah setiap pelosok dunia. Ohmae menyebutkan dalam era globalisasi sekarang sebagai efek globalisasi adalah dunia yang tanpa batas (borderless) dimana ditandai dengan arus penyebaran yang sangat pesat dari unsur 4 I, yaitu investasi, informasi, industri dan individu .Perkembangan empat I ini telah melampau batas-batas negara, bahkan melampaui konsep-konsep blok pembangunan dan negara-negara tidak bisa lagi tertutup seperti Tiongkok pada era 1960an.

Disinilah dalam lingkup nasional, peran negara semakin tergantikan oleh peran-peran aktor non negara yang menjalankan berbagai kepentingan dan aktivitas ekonomi, politik, sosial dan budaya. Berangkat dari pendapat Ohmae diatas, muncul sebuah asumsi jika sebuah negara telah memiliki 4 I tersebut maka negara tersebut dapat muncul sebagai sebuah kekuatan global yang tidak hanya diwarnai dengan kekuatan ekonomi namun juga politik dan budaya. Tiongkok telah membuktikan diri sebagai sebuah negara yang mampu membangun ekonominya dengan begitu kuat dan mampu berpengaruh dalam beberapa kasus perpolitikan dunia. Salah satu contoh yang sangat dikenal adalah kunci Tiongkok dalam kasus nuklir Korea Utara. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana sebenarnya kondisi Tiongkok hingga mencapai hegemoni global? Hegemoni disisi dimaknai sebagai sebuah kekuatan pengaruh yang luar biasa dan global mengindikasikan cakupan wilayah dari pengaruh tersebut.

Satu hal penting dan utama dalam menganalisa perkembangan kekuatan Tiongkok saat ini adalah kekuatan ekonomi global Tiongkok. Dalam dekade globalisasi ini beberapa isu yang menjadi permasalahan dan banyak dibahas adalah tentang bagaimana kekuatan ekonomi domestik menghadapi terpaan ekonomi global. Paul Hirst dan Grahame Thompson melihat bahwa perkembangan ekonomi global memunculkan tantangan bagi negara bangsa terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu. Hirst dan Thompson mengemukakan bahwa sebuah negara dapat meningkatkan kekuatannya dalam ekonomi internasional melalui dua cara yaitu membentuk sebuah blok ekonomi yang terdiri dari beberapa negara (an inter-national economy model) dan mengglobalkan kekuatan ekonominya (a globalized economy model).

Meminjam pemikiran Hirst dan Thompson diatas, kita dapat menggunakan analisa model kedua yaitu globalisasi ekonomi. Asumsi dasarnya adalah bahwa sebuah kekuatan ekonomi sebuah negara dapat mengglobal ketika setiap aspek ekonominya menginternasional melalui transaksi-transaksi ekonomi. Ketika transaksi semakin tinggi dan tingkat saling ketergantungan juga semakin tinggi maka secara perlahan terjadi perpindahan cakupan dan level ekonomi dari nasional menuju ke internasional. Konsekuensi dari perkembangan ini adalah pertama, dengan terangkatnya kekuatan ekonomi nasional menuju internasional maka dibutuhkan dukungan bagi negarabangsa dengan membangun blok ekonomi dan kedua, terjadi perkembangan perusahaan domestik menjadi MNC dan dari MNC menjadi TNC. Tiongkok berusaha membangun kerjasama dengan beberapa negara seperti ASEAN, Uni Eropa dan masuk dalam WTO serta mendukung beberapa perusahaannya menjadi perusahaan multi nasional.

Hal yang pertama kali dilakukan oleh Tiongkok adalah dengan mengundang investasi dari luar negeri. Salah satu keberhasilan Tiongkok dalam hal investasi adalah dibangunnya pabrik perakitan pesawat Airbus A320 di Tianjin pada bulan Juni 2006. Pabrik ini adalah satu-satunya pabrik Airbus diluar Eropa. Beberapa perusahaan dunia yang lain juga membangun pusat industrinya di Tiongkok seperti General Electric Co., Intel, Sony dan Panasonic. Berdasarkan data menteri perdagangan tercatat sampai tahun 2005, terdapat 190 negara yang menanamkan modal di Tiongkok dimana pada tahun 2005, 58,3% ekspor Tiongkok dihasilkan oleh industri asing.

Sementara itu dalam politik domestik, Tiongkok juga berbenah untuk menanggapi perkembangan ekonominya yang semakin mengglobal. Pada masa tahun 1990an tersebut dibentuklah beberapa lembaga baru dalam pemerintahan Tiongkok seperti Dewan Perdagangan dan Ekonomi Negara, Industri Tenaga, Industri Batubara, Industri Permesinan, Industri Elektronik, Perdagangan Domestik serta Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Luar Negeri.

Dengan berbagai pembenahan baik dalam infrastruktur, birokrasi dan sumber daya manusia. Tiongkok telah berhasil menunjukkan kelasnya sebagai kekuatan hegemon global terutama dalam bidang ekonomi. Industri berat yang dahulu digagas oleh Mao untuk meningkatkan kekuatan nasional bukan tanpa bekas manfaat. Kita lihat saja dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2005, pemerintah Tiongkok masih mempertahankan industri konstruksi dengan pengeluaran yang terus meningkat dari 2.094,89 (dalam 100 juta Yuan) pada tahun 2000 menjadi 3.429,30 pada tahun 2005. Dibidang hukum, penegakan terhadap hukum cukup kuat di Tiongkok. Pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Hukuman penjara, hukuman seumur hidup bahkan sampai hukuman mati diterapkan pemerintah Tiongkok kepada para koruptor yang merugikan negara.

Masih terdapat beberapa data mengenai kemajuan-kemajuan yang cukup menakjubkan dari perkembangan ekonomi Tiongkok selama dua dekade terakhir. Tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa Tiongkok saat ini memiliki kekuatan ekonomi global yang juga didukung dengan kekuatan politik dan militer yang maju. Kekuatan-kekuatan Tiongkok tersebut saat ini sedang dalam perjalanan memperluas dan memperbesar hegemoni globalnya. Baik hegemoni dalam ekonomi, politik maupun budaya. Bahkan beberapa ahli meramalkan pada tahun 2020 Tiongkok akan melampaui negara-negara ekonomi maju seperti negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat dan Jepang. Namun yang ingin ditekankan dalam tulisan ini bukanlah penyajian data tentang keberhasilan Tiongkok melainkan mencari peluang kesempatan bagi Indonesia untuk memanfaatkan rangkaian keberhasilan Tiongkok untuk kepentingan Indonesia.

Indonesia Mencari Peluang
Ketika kita membandingkan sejarah antara Tiongkok dan Indonesia dalam pembangunan ekonomi nampak jelas perbedaan yang cukup unik. Pada tahun 1970an, ketika Indonesia sedang giat membangun ekonominya, Tiongkok masih disibukkan dengan urusan domestik akibat pertumbuhan ekonomi yang lambat akibat dari kebijakan pemimpin Tiongkok yang tertutup dengan dunia luar. Pada awal 1980an sampaiawal 1990an, Tiongkok mulai bergerak kekuatan ekonominya setelah adanya reformasi dibawah Deng Xiaoping. Sekali lagi dalam kurun waktu yang sama Indonesia mencapai titik gemilang sebagai sebuah negara yang cukup prospektif berhasil dalam pembangunan ekonomi mengejar empat pendahulunya Taiwan, Hongkong, Singapura dan Korea Selatan dalam the Asian Miracle. Namun pada akhir tahun 1990an, kondisi terbalik. Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup parah, demikian juga dengan Korea Selatan.

Sementara Tiongkok tidak begitu terpengaruh krisis ekonomi yang melanda sebagian besar negara di Asia Tenggara. Sejak saat itu Indonesia sibuk berbenah tidak hanya di ekonomi namun yang lebih parah lagi adalah dalam bidang politik. Sementara itu Tiongkok justru semakin memperkuat jangkauan pengaruhnya. Pada awal orde reformasi di Indonesia terjadi fenomena masuknya berbagai barang-barang dari Tiongkok dalam jumlah yang besar.

Dalam sebagian tenaganya untuk terus berbenah dalam proses demokratisasi, Indonesia melihat Tiongkok sebagai satu harapan dan pilihan baru dari sekian banyak pilihan konservatif yang selama ini dipilih oleh Indonesia. Pemerintah di Indonesia mulai melirik Tiongkok sejak jaman presiden Abdurahman Wahid dengan mengubah sejarah dengan memberikan hak yang lebih luas kepada warga Tionghoa di Indonesia yang selama orde baru hidup sebagai sapi perah dan kambing hitam. Mau tidak mau, kita juga mengakui bahwa kebijakan ini juga berpengaruh terhadap kebijakan Tiongkok kepada Indonesia karena adanya chinese overseas yang masih diperhitungkan oleh Tiongkok.

Kebijakan tersebut diteruskan dengan pemerintahan Megawati Soekarno Putri dengan semakin mempererat hubungan dipomatik Indonesia-Tiongkok dan meningkatkan volume perdagangan dengan Tiongkok. Pada masa pemerintahan SBY, Indonesia nampaknya semakin kuat komitmennya dalam hubungannya dengan Tiongkok melalui institusionalisasi kerjasama dalam berbagai lembaga kerjasama perdagangan baik yang formal maupun non formal.

Lalu, dari sisi mana Indonesia dapat mencari peluang dalam hegemoni global Tiongkok? Dalam hal ini, sesuai dengan perkembangan saat ini, Indonesia memiliki tiga peluang untuk memanfaatkan kondisi ini. Ketiga peluang tersebut berdasarkan level analisa domestik, bilateral, regional dan internasional. Pertama, dari analisa domestik kita bisa melihat dua hal utama yaitu tentang etnik Tionghoa Indonesia dan sumber daya alam Indonesia. Etnik Tionghoa sebenarnya memiliki peran penting dalam pencarian peluang bagi kepentingan Indonesia. Jaringan chinese overseas masih cukup kuat. Kita mengenal adanya jaringan antara pengusaha Tionghoa di Indonesia dengan pengusaha Tionghoa di Singapura, Malaysia, Thailand dan juga pengusaha Tiongkok sendiri.

Jaringan tersebut tidak hanya bersifat profesional bisnis namun juga karena hubungan keluarga atau kekerabatan. Permasalahannya adalah kebijakan politik orde baru yang menempatkan posisi etnik Tionghoa dalam posisi yang sulit dan tidak diberikan kesempatan untuk berperan dalam birokrasi dan proses pengambilan keputusan membuat kondisi saat ini menjadi sulit karena sebagian besar etnik Tionghoa di Indonesia kemudian mengalami trauma yang cukup besar sehingga peran yang dilakukan dengan mengatasnamakan Indonesia disusun dengan sangat hati-hati. Unsur kedua dalam level domestik ini adalah sumber daya alam. Kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki brbagai sumber daya alam yang sangat diperlukan sebagai bahan baku industri.

Inilah yang harus kita manfaatkan. Tiongkok bergerak menjadi negara industri maju yang tentu saja memerlukan bahan baku dan bahan bakar. Pada dasarnya Indonesia memiliki kebutuhan-kebutuhan industri Tiongkok tersebut. Indonesia memiliki kandungan minyak yang relatif masih besar, Tiongkok dapat dilihat sebagai sebuah pasar yang menjanjikan bagi industri migas Indonesia. Disisi lain, terdapat kekurangan Tiongkok yaitu semangat yang begitu besar dalam mengejar industrialisasi, mereka melupakan industri agraris. Tiongkok memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap industri bahan pangan. Secara sederhana saja kita melihat dari jumlah penduduk Tiongkok yang satu milyar jiwa lebih. Kebutuhan pangan akan berbanding lurus dengan populasi. Pada masa industrialisasi diera tahun 1990an, sektor pertanian terlupakan dan berakibat pada ketergantungan yang relatif besar terhadap pasokan pangan dari luar Tiongkok. Inilah salah satu peluang besar yang dapat dimanfaatkan bagi industri pangan dan pertanian di Indonesia.

Level kedua yaitu hubungan bilateral. Pada level ini, Indonesia memiliki nilai tawar yang cukup besar dalam proses investasi. Indonesia dapat belajar banyak tentang bagaimana mengundang investor asing ke Tiongkok. Namun yang perlu diingat adalah apapun investasinya, kewaspadaan tetap diperlukan untuk berjaga jangan sampai investasi asing begitu besar sehingga kadang justru merugikan Indonesia sendiri. Tiongkok memiliki potensi besar sebagai investor di Indonesia. Tentu saja hal ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia baik melalui investasi langsung maupun joint venture. Peluang Indonesia dalam hubungan bilateral dengan Tiongkok ini juga pada sektor budaya dan pendidikan. Kita mengenal budaya Konfusianisme yang dikenal dan dianut oleh sebagian besar masyarakat Asia Timur. Ternyata pola hidup dari budaya tradisional ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana orang Tiongkok berfikir dan bertindak. Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia juga memiliki kesempatan untuk banyak belajar ke Tiongkok terutama dalam manajemen masyarakat dan juga etos kerja. Sementara itu dalam bidang pendidikan, kita mengetahui bahwa saat ini Tiongkok memiliki komitmen yang cukup besar dalam bidang pendidikan.

Anggaran pendidikan di Tiongkok lumayan tinggi. Tiongkok dapat menjadi satu pilihan dalam pendidikan di Indonesia terutama dalam bidang teknologi informasi dan bisnis. Selain itu, bahasa Mandarin yang semakin berkembang pesat seiring semakin menjamurnya investasi Tiongkok di penjuru dunia juga menjadi salah satu peluang bagi Indonesia. Masih sedikit pusat studi Tiongkok di Indonesia yang harus segera dibangun jika Indonesia ingin mendapatkan peluang dari hegemoni global Tiongkok karena dari pusat studi ini muncul berbagai informasi dan gagasan yang berguna bagi pengembangan kesempatan Indonesia untuk mendapatkan manfaat hegemoni global Tiongkok dari berbagai bidang.

Level ketiga adalah pada tataran regional. Peluang Indonesia juga turut terbuka ketika Tiongkok semakin memperkuat komitmennya untuk bekerjasama dengan ASEAN. Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN seharusnya memiliki peluang yang besar pula. Indonesia harus mampu memanfaatkan poin-poin kerjasama melalui ASEAN+3, untuk kepentingan Indonesia sendiri terutama kerjasama dalam bidang investasi dan perdagangan. Level keempat adalah level internasional dimana Indonesia memiliki peluang untuk bekerjasama dengan Tiongkok dalam peran internasional. Dalam beberapa kasus, Indonesia memiliki suara yang relatif sama dengan Tiongkok, meskipun dengan tataran kepentingan nasional yang berbeda. Kasus perang Irak dan nuklir Iran merupakan buktinya. Indonesia sebenarnya menolak cara perang yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyelesaikan permasalahan di Irak, namun Tiongkok lebih memiliki kekuatan untuk menolak karena memiliki hak veto.

Oleh karena itu Indonesia sebenarnya dapat memanfaatkan kekuatan veto Tiongkok untuk kepentingan Indonesia meskipun kemungkinannya relatif kecil. Disisi lain, dalam level internasional ini, kita mengetahui bahwa Tiongkok juga telah terdaftar sebagai anggota WTO, namun Tiongkok memiliki beberapa pemikiran yang berseberangan dengan negara-negara Barat di WTO. Beberapa penolakan Tiongkok terhadap klausul di WTO juga memiliki kemiripan dengan keberatan Indonesia dalam beberapa klausul itu.

Pelaksanaan Peluang Indonesia
Meskipun dalam bagian sebelumnya tidak secara jelas ditampilkan data-data statistik maupun laporan penelitian yang mendukung terhadap argumentasi peluang Indonesia dalam empat level, namun penulis memiliki keyakinan yang besar bahwa Indonesia memiliki peluang yang besar dalam memanfaatkan hegemoni global Tiongkok. Indonesia memiliki semua sumberdaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Permasalahannya adalah bukan pada masalah mampu atau tidak mampu namun pada permasalahan mau atau tidak mau. Permasalahan kemauan ini juga sangat terkait dengan relevansi dan konsekuensi terhadap kebijakan untuk mau ini.

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Indonesia dalam memanfaatkan peluang hegemoni global Tiongkok. Pertama, meningkatkan industri pangan untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Tiongkok. Namun terdapat catatan disini bahwa Indonesia dan beberapa negara agraris yang lain memiliki permasalahan ketika pangan telah masuk menjadi industri. Hal yang perlu dicatat adalah ekspor pangan ke Tiongkok dapat dilakukan ketika kebutuhan didalam negeri telah terpenuhi. Kedua, membanguan pusat studi Tiongkok atau Asia Timur yang lebih luas. Hal ini penting karena dengan membangun pusat studi Tiongkok maka pengetahuan tentang Tiongkok baik dari segi politik, ekonomi, budaya dan sebagainya dapat menghasilkan berbagai penelitian yang berguna sebagai masukan dalam perumusan kebijakan negara. Ketiga, meningkatkan kerjasama pendidikan. Keberhasilan ekonomi Tiongkok tentu saja didukung dengan sumber daya manusia yang baik. Oleh karena itu kerjasama pendidikan juga merupakan sebuah peluang terutama dalam bidang teknologi informasi dan bisnis.

Keempat, membangun iklim investasi yang bagus dengan menerapkan sistem investasi seperti di Tiongkok. Meskipun investasi dibuka luas, namun penentuan kebijakan tetap ditangan Indonesia. Beberapa kasus di Indonesia menunjukkan lemahnya nilai tawar Indonesia terhadap investasi asing sehingga justru Indonesia banyak dirugikan. Iklim investasi yang baik ini juga menyangkut penegakan hukum terutama dalam korupsi dan pemotongan jalur birokrasi yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Kelima, penguatan posisi dan peran Indonesia di ASEAN juga merupakan peluang karena Tiongkok memiliki hubungan yang cukup baik dengan ASEAN. Indonesia harus mengembalikan kejayaan dimana sebagai negara dominan di ASEAN sehingga kerjasama ASEAN dan Tiongkok dapat memberikan manfaat yang besar bagi Indonesia.

Keenam, meningkatkan kerjasama dengan Tiongkok terutama berkaitan dengan peran dalam permasalahan internasional. Ketujuh, membangun kebijakan domestik yang pro kebangsaan. Artinya, pemanfaatan hegemoni global Tiongkok bagi kepentingan Indonesia harus dikembalikan dalam tataran kepentingan Indonesia yang sebenar-benarnya, bukan kepentingan kelompok tertentu di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan untuk memupuk kebangsaan dan kebanggaan Indonesia ini harus digalakkan kepada semua warga negara Indonesia termasuk juga etnik Tionghoa. Kebijakan perluasan peran dan kesempatan bagi etnik Tionghoa untuk berperan dalam mencari peluang dalam hegemoni global Tiongkok harus didukung dengan semangat kebangsaan sebagai Indonesia.

Kesimpulan
Tiongkok telah berkembang menjadi satu kekuatan global yang sangat berpengaruh baik dalam bidang politik, ekonomi maupun budaya. Keberhasilan Tiongkok membangun ekonominya membuat negara-negara maju menempatkan Tiongkok sebagai sebuah potensi sekaligus tantangan bagi perekonomian mereka. Sedangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia, keberhasilan Tiongkok ini dapat dijadikan sebagai salah satu model pembangunan ekonomi setelah terbukti pembangunan ekonomi Asia mengalami kegagalan dalam krisis ekonomi tahun 1998.

Potensi manfaat yang dapat diambil oleh Indonesia dalam hegemoni global Tiongkok ini sangat terbuka luas baik dalam level domestik, bilateral, regional dan internasional. Indonesia memiliki banyak sekali bahan baku industri yang dibutuhkan oleh Tiongkok sedangkan investasi dari Tiongkok dapat menjadi satu potensi pengembangan industri di Indonesia. Sementara itu peran etnik Tionghoa di Indonesia juga memiliki peranan penting dalam pemanfaatan hegemoni global Tiongkok ini. Hanya saja, proses kebangsaan harus semakin diperkuat, tidak hanya bagi etnik Tionghoa namun juga bagi warga negara Indonesia yang lain. Komitmen persatuan dan usaha bersama untuk kepentingan bersama harus diutamakn. Jangan sampai untuk kepentingan Indonesia hanya menjadi satu simbol belaka dimana sebenarnya yang terjadi adalah kepentingan sebagian kecil orang Indonesia.

Terakhir, penulis berpendapat, kembali kepada istilah poros Jakarta-Peking yang dahulu pernah digagas oleh Bung Karno, presiden pertama Indonesia, mungkin gagasan poros Jakarta-Beijing namun dalam tataran dan konteks yang berbeda dengan poros dimasa lalu, yaitu poros yang lebih mengarah pada hubungan intensif untuk meningkatkan kesejahteraan didua negara melalui kerjasama ekonomi, budaya dan pendidikan mungkin dapat menjadi salah satu pilihan alternatif pemanfaatan hegemoni global Tiongkok bagi kepentingan Indonesia. Yang jelas semuanya dapat tercapai jika kemauan, persatuan dan komitmen tercapai. Bukan pada masalah mampu atau tidak mampu. (edoirfandi)

0 komentar:

Posting Komentar